Kecanggungan Masa Lalu di Zaman Selfie

Sumber : Arif Koes Hernawan (21 September 2015), “Kecanggungan Masa Lalu di Zaman Selfie”, Majalah Gatra. Dimuat ulang di situs web Majalah Gatra.

 

Seorang laki-laki berbusana necis, dengan jas putih dan dasi kupu-kupu, mengangkat topi. Tatapan mata dan mimiknya menunjukkan rasa percaya diri ke arah kita. Di belakangnya, seorang perempuan dengan gaun dan topi putih juga tak sungkan, dengan wajah datar, pun menatap ke arah kita. Jauh di belakang sana seorang dewasa dan anak-anak terlihat menikmati suasana yang cerah. Suasana dalam lukisan itu ditegaskan lagi dengan teks dan sekaligus menjadi judul: Yang mengangkat topi kepada kamera, di hari libur keluarga Eropa, Teluk Balikpapan.

Bersanding di sebelahnya, dalam medium yang sama, sebuah lukisan akrilik 2×1,5 meter, ilustrasi seorang anak yang tengah dicukur. Si pemotong rambut, dengan kumis lencir dan kulit gelap, fokus ke pekerjaannya. Tiga orang di belakang menonton. Sementara si bocah dengan rambut sekuping yang nyaris menutupi mata melengos. Ada yang tidak bisa melihat kamera menjadi judul yang dibubuhkan di bagian bawah lukisan itu.

Dua caption verbal semacam itu –”yang melihat kamera” dan ”yang tidak melihat kamera”– mengisi kebanyakan lukisan Otty Widasari dalam pameran tunggalnya ”Ones Who Looked at the Presence”. Pameran ini digelar di Ark Galerie, Jalan Suryodiningratan 36 Yogyakarta, 10 September-15 Oktober 2015.

Otty menyajikan enam lukisan 2 x 1,5 meter, 95 lukisan 35 x 50 sentimeter, dan tiga video. Lukisan dihadirkan dalam ilustrasi dan sapuan sederhana yang kadang mengabaikan detail. Namun materi lukisan tidak sesederhana itu.

Seperti tampak dari arsip video yang diputar di pameran ini, lukisan-lukisan Otty bersumber dari adegan-adegan film yang dibuat Pemerintah Kolonial Belanda tentang beberapa lokasi di Indonesia. Ada tujuh daerah di masa kolonial yang di-capture Otty dari ”gambar idoep” Belanda.

Mereka disusun berderetan dalam tiga tingkat meski bukan dalam bentuk skena-skena yang berurutan. Namun, secara umum, masing-masing dikelompokkan berdasarkan keterangan tempat. Mulai deretan 10 lukisan pertama memotret suasana kota dan pasar di Banjarmasin, 12 ilustrasi untuk Lamalera yang menangkap momen ketika musim perburuan paus, Jakarta, Toraja, Balikpapan, hingga 13 lukisan dengan dominasi warna gelap untuk Jati, daerah di sekitar Magelang, yang menjadi lokasi pembangunan rel kereta api.

Di Jati, dalam suasana gelap –seakan dalam hutan yang gelap, atau malam, atau metafor akan suramnya pembangunan di masa penjajahan— para blandong menghabisi hutan, menghasilkan log-log kayu, dan mengangkutnya dengan lori.

Delapan lukisan sambungannya bertajuk Willem I, nama pangeran Belanda yang dijadikan sebagai nama stasiun kereta api pertama di Hindia Belanda di Muntilan, Magelang. Bagian ini dipulas Otty dengan warna cerah menghadirkan orang-orang Belanda berpose di samping rel dan stasiun, dengan paras cerah, dan berlatar cakrawala seakan menyiapkan daerah jajahan yang gilang gemilang.

Bagian karya Otty di bawah judul Jati dan Willem I dipetik dari sebuah dokumenter karya J.C. Lamster yang menjadi semacam laporan pertanggungjawaban akan perkembangan pembangunan di daerah kolonial kepada Pemerintah Kerajaan Belanda.

Pada bagian dinding terpisah masih ada 19 lukisan tentang Suku Asmat. Bagian ini menjadi rekaman antropologis suku di Papua tersebut pada periode 1948-1952. Aktivitas dan identitas etnis mereka terekspose dengan jelas. Namun, seperti halnya karya-karya tentang masa kolonial, adegan dalam ilustrasi tentang Asmat juga menangkap wajah dan gestur mereka yang sadar kamera.

Sumber visual lukisan-lukisan itu, adegan-adegan yang menunjukkan respons orang Belanda dan warga lokal terhadap kamera, dicomoti lalu dikompilasi Otty pada dua video yang masing-masing berdurasi dua menitan. Pada video lain, ia memutar rekaman tentang eksploitasi para pekerja demi proyek kolonial di Jati di negeri asalnya, Belanda.

Video Jati Goes to Rotterdam diputar di sebuah komputer jinjing dan diletakkan di tengah trotoar Rotterdam. Melalui kamera ponselnya, Otty merekam situasi itu: kebanyakan bule cuek, sebagian celingukan ke arah laptop dan kamera, ada juga yang menonton sembari jalan.

Karya-karya dalam pameran ini merupakan kelanjutan dari hasil residensi Otty di Utrecht, Belanda. Bisa dibilang sebagai sebuah proyek personal mengingat beberapa lokasi bertalian dengan kehidupannya. Otty dilahirkan dan mengalami masa kecil di Balikpapan, 12 September 1973. Di kota itu mempunyai memori dan imajinasi tersendiri akan pabrik minyak di sana.

Sebagai artist, karya-karyanya hadir, antara lain, di Translated SPACE, ID Contemporary Art of Indonesia, Kunstraum Krausberg, Berlin, 2010; Jogja Biennale dan Jakarta Biennale pada 2013, dan SeMA Biennale Mediacity Seoul, Korea Selatan 2014. Karya film fitur-dokumenternya Naga yang Berjalan di Atas Air (2012), diputar di 4th DMZ International Documentary Film Festival, Korea Selatan.

Ia ikut mendirikan dan mengelola Forum Lenteng. Di komunitas ini ia Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas, akumassa, sejak 2008. Otty juga kurator film di Arkipel, sebuah festival film eksperimental di Jakarta.

Persentuhannya yang intim dengan dunia film dana video —juga studinya di jurnalistik— seakan menjadikan muatan dalam karya-karyanya yang bisa menjadi sarana untuk menunjukkan mekanisme dan sistem produksi media (massa) bekerja.

Tak mengherankan jika kurator Manshur Rizki menyebut Otty sanggup merebut kembali harta yang dicuri oleh pihak kolonial, yakni kontruksi mereka atas respon kita terhadap teknologi dan hal-hal baru beserta akses dan pengetahuannya —dan membingkainya dalam sebuah seni kontemporer.

Yang menarik justru pilihan tema Otty yang secara tidak langsung mampu menghadirkan karakter-karakter masa lalu. Bagaimana orang lokal bersikap canggung, bahkan terganggu, pada kamera, sementara orang Barat menganggap sebagai momen pengabadian, narsisme, dan kepongahan. Karakter-karakter masa lalu itu seolah menatap kita dan bertanya tentang sejauh mana relasi kita dengan teknologi kamera hari ini, di masa peradaban selfie ini.